Gerakan tanah atau yang lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah proses bergeraknya suatu massa tanah dan batuan dalam jumlah yang besar menuju ke menuju ke tempat yang lebih rendah.
Menurut Dibyosaputro (1999), gerakan massa atau longsor adalah proses bergeraknya puing-puing batuan (termasuk tanah di dalamnya) secara besar-besaran menuruni lereng secara lambat hingga cepat oleh pengaruh langsung dari gravitasi. Gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang lereng. Dampak kerusakannya antara lain berupa berubahnya permukaan tanah serta hilangnya tanah lapisan atas dan vegetasi (Kurnia et al. 2005).
Vegetasi merupakan faktor penting dalam menjaga kemantapan lereng, karena ketiadaan tumbuhan atau pepohonan di daerah pegunungan akan sangat mempengaruhi proses longsor. Menurut Asdak (2003), pengaruh vegetasi penutup tanah adalah untuk melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, menurunkan kecepatan dan volume air larian, menahan partikel-pertikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan dan mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air. Adanya vegetasi penutup tanaman yang baik seperti rumput yang tebal atau hutan yang lebat dapat menghilangkan pengaruh topografi terhadap erosi yang akan berakibat pada terjadinya longsor.
Tumbuhan yang menutup permukaan tanah secara rapat tidak saja memperlambat limpasan, tetapi juga dapat menghambat pengangkutan partikel tanah. Disamping itu akar tumbuhan juga berfungsi untuk mengikat butir-butir tanah sekaligus menjaga pori-pori tanah dibawahnya, sehingga infiltrasi air hujan berjalan dengan lancar.
Tanah Longsor
Dalam periode tahun ketahun, bencana tanah longsor atau sering disebut gerakan tanah semakin sering terjadi di Indonesia. Aktifitas tanah longsor merupakan salah satu kejadian alam yang terjadi di wilayah pegunungan, terutama di musim hujan. Bencana longsor beberapa kali terjadi melanda Indonesia dalam periode musim penghujan setiap tahunnya (Naryanto et. Al., 2019).
Konservasi Tanah
Di wilayah Indonesia, sangat pentingnya konservasi tanah dan air pada satuan sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mulai disadari setelah terjadi banjir besar Bengawan Solo pada tahun 1966. Kesadaran atas dampak kejadian tersebut ditindak lanjuti dengan upaya penanggulangan pada skala luas melalui Proyek Penghijauan Departemen Pertanian 001 pada tahun 1969.
Sistem pengelolaan DAS untuk mendukung pelaksanaan konservasi tanah tersebut, diformulasikan pada tahun 1972 melalui Proyek Upper Solo Watershed Management and Upland Development Project (TA INS/72/006). Dari perjalanan waktu penyelenggaran dalam pengelolaan DAS, setiap kegiatan pengelolaan DAS dapat diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam (SDA) berskala DAS berdasarkan integrase keterlibatan masyarakat, pengetahuan teknis dan struktur organisasi beserta arah kebijakkan dari kegiatan tersebut. Pendekatan dalam pengelolaan DAS menjadi relevan kembali setelah munculnya beberapa persoalan pengelolaan SDA serta dampak pengelolaan yang buruk. Sementara itu, pendekatan dalam pengelolaan DAS juga mengalami perubahan seiring dengan adanya perubahan situasi, permasalahan, kondisi dan pergeseran paradigma.
Ini menguraikan cakupan, permasalahan pengelolaan SDA dan upaya yang perlu dilakukan agar semua pihak dapat mengacunya. Permasalahan DAS ini dapat dilakukan dengan cara melaksanakan penghijauan, yang dilakukan untuk mengurangi erosi tebing sungai yang disebabkan oleh adanya gerusan aliran sungai yang terjadi pada saat hujan lebat dan secara tiba-tiba. Kejadian tersebut ditambah lagi dengan rusaknya hutan dan DAS di bahagian hulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar